19 July, 2025

Donasi Operasional dan Pengembangan Situs FAJARMETRO.COM: Bank BRI 094201033191535 a/n MOH YAMIN Terima Kasih atas Partisipasi Saudaraku Sekalian, Semoga Allah SWT Membalas Kebaikan Saudaraku Semua dengan Berlipat Ganda Aamiin...

19 July, 2025

Donasi Operasional dan Pengembangan Situs FAJARMETRO.COM: Bank BRI 094201033191535 a/n MOH YAMIN Terima Kasih atas Partisipasi Saudaraku Sekalian, Semoga Allah SWT Membalas Kebaikan Saudaraku Semua dengan Berlipat Ganda Aamiin...

EkbisGAYAHIDUP

Reeca, Berdayakan Ekonomi Tasikmalaya Lewat Bisnis Mukena

Fajar Metro – Menjadi negara dengan populasi muslim terbesar di dunia sejatinya membuat Indonesia memiliki potensi ekonomi dari segi kebutuhan yang tidak dimiliki negara kebanyakan. Salah satunya, kebutuhan pakaian untuk beribadah yang sudah pasti dipakai hampir setiap waktu, setiap hari, dan sepanjang usia bagi kalangan perempuan, yakni mukena.

Meski jika digali lebih dalam, mukena sejatinya bukan kewajiban dalam syariat Islam. Sebab, prinsip utama pakaian saat beribadah salat bagi perempuan muslim adalah menutup aurat dan bersih. Namun, seiring perkembangan zaman, mukena lahir dan menjadi bagian dari budaya lokal yang tak bisa dilepaskan.

Menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia sejatinya membuat Indonesia memiliki potensi ekonomi dari segi kebutuhan yang tidak dimiliki negara kebanyakan. Salah satunya, kebutuhan pakaian untuk beribadah yang sudah pasti dipakai hampir setiap waktu, setiap hari, dan sepanjang usia bagi kalangan perempuan: mukena.

Namun, di balik peluang pasar ini, ada sebuah produk yang secara unik menggambarkan persimpangan antara syariat Islam dan budaya lokal Indonesia. Mukena, misalnya. Pada dasarnya, mukena bukan kewajiban dalam syariat. Prinsip utama pakaian saat beribadah salat bagi perempuan muslim adalah menutup aurat dan bersih.

Namun, seiring perkembangan zaman, mukena lahir dan menjadi bagian dari budaya lokal yang tak bisa dilepaskan. Mukena telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar penutup aurat. Mukena sudah menjadi cerminan identitas, kenyamanan, bahkan ekspresi gaya bagi banyak Muslimah Indonesia.

Tak heran, fenomena mukena yang berkembang turut membuka pintu bisnis bagi pasar yang dinamis. Gambaran besarnya, fesyen merupakan salah satu dari enam komoditas yang diperkirakan bakal tumbuh pesat permintaannya dalam beberapa tahun ke depan.

Secara agregat, DinarStandard mengestimasi, pengeluaran konsumen muslim terhadap enam sektor komoditas tersebut bisa menembus US$3,1 triliun pada 2027. Jumlah ini terpantau naik 4,8% dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pada 2022 nilainya tercatat US$2,29 triliun.

Arinal Fahmi (27), jadi salah satu orang yang memanfaatkan peluang untuk mengisi ceruk besar atas permintaan sandang ibadah yang ada. Bersama sang istri, Resa (26), keduanya menjajal dunia usaha di industri pakaian muslim terkhusus jenis mukena yang memiliki pangsa pasar jumbo di Indonesia lewat jenama Reeca.id, yang berbasis di Kota Tasikmalaya.

Bangkit di Tengah Covid-19
Dilansir dari Validnews, Senin (26/5), sosok yang akrab disapa Arin ini terbuka mengaku jika bisnis mukena yang dimiliki merupakan turunan dari orang tua yang sudah lebih dulu menjalani bisnis. Sehingga bisa dibilang keduanya tidak merintis dari titik nol.

Namun, keduanya yang baru mulai mengarungi bisnis di 2020 tetap menghadapi titik nadir usaha. Arin bercerita, sempat kelimpahan ribuan stok mukena yang sudah kadung diproduksi sedari lama tidak terjual. Dia mengidentifikasi ada dua hal yang membuat kondisinya begitu berat, yakni masih hanya mengandalkan pasar grosir konvensional dan terjangan pagebluk covid-19 sejak awal tahun.

Tak ingin semua modal usaha menjadi sia-sia, Arin berinisiatif melakukan perubahan pada April 2021. Awalnya, dirinya menjual stok mukena yang ada melalui platform e-commerce dengan menggunakan namanya sendiri sebagai merek dagang. Adapun, pundi-pundi penjualan baru menampakan hasil empat bulan setelahnya.

“Stok (mukena) banyak itu gara-gara covid-19 awalnya. Jadi barang saya jualin online, awalnya di Shopee bulan April 2021, tapi baru naik (penjualan) di Agustus,” imbuhnya.

Tahun selanjutnya, merek dagang berganti menjadi Reeca seperti yang saat ini dikenal, berasal dari nama sang istri setelah menikah. Dari titik ini, Arin dan Resa memutuskan memulai usaha mukena mandiri sepenuhnya, memproduksi sendiri, termasuk membuat saluran media sosial dan akun dagang di beberapa platform belanja online. Karena masih merintis, penjualan secara online tidak langsung moncer pada awalnya. Seolah sudah menjadi pola, pundi-pundi hasil penjualan juga baru terlihat selang empat bulan kemudian.

“Juni 2022 kita mulai dari awal dengan nama Reeca, titik mulai terlihat konsisten hasil penjualan itu di bulan Oktobernya,” imbuh Arin.

Masih di tengah situasi covid-19, Arin tetap mengutamakan penjualan online melalui platform e-commerce, tentunya memanfaatkan metode pemasaran yang sedang banyak digunakan saat itu, yakni dengan meng-endorse sejumlah influencer dan selebriti internet yang diakuinya cukup banyak mendongkrak penjualan.

Setelahnya, di masa-masa pemulihan pagebluk, gaya berdagang konvesional di pusat grosir mulai ikut kembali bangkit. Arin lagi-lagi tidak menampik, dirinya beruntung lantaran diberi kepercayaan mengambil porsi 70% dari total produksi untuk memenuhi suplai toko mukena yang dimiliki orang tuanya di Pasar Tanah Abang.

Sementara itu, 30% kebutuhan suplai sisanya dipenuhi oleh produksi terpisah milik orang tuanya sendiri dan dari jasa maklon-produksi pihak ketiga.

“Dalam satu minggu kita dua kali kirim distribusi ke Tanah Abang, itu setiap hari Senin dan Kamis,” ungkapnya.

Laris Terserap Pasar
Arin menyampaikan, aliran barang mulai dari proses produksi hingga terdistribusi ke reseller dan konsumen terbilang banyak dan cepat. Dirinya membeberkan, industri ini memiliki golden time khusus, dimulai sejak September sampai momen hari besar Ramadan dan Idulfitri.

Selama jangka waktu tersebut, dua pabrik mukena yang masing-masing berlokasi di Kecamatan Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya dan Bandung dapat menghasilkan 400-500 mukena jadi dalam waktu satu hari. Sementara di luar golden time, pabrik biasa menghasilkan sebanyak 100-200 mukena per hari.

Dari kuantitas tersebut, dengan kondisi pemulihan pandemi seperti saat ini, Arin bersyukur stok produk Reeca tidak pernah lagi tersisa dan langsung terserap di pasaran.

Tentu, jumlah produksi dalam sehari ini masih bisa meningkat jauh lebih tinggi lagi di momen puncak golden time, yakni saat Ramadan dan Idulfitri.

“Kalau Ramadan, itu bisa 10.000 (mukena jadi) sehari,” imbuhnya.

Karena kondisi tersebut pula, mukena Reeca juga tidak memiliki motif atau model yang menjadi edisi tetap, melainkan selalu berganti konsep setiap hari. Untuk mengakomodasi tren ini, tim internal Reeca yang saat ini terdiri dari 20 orang, belum termasuk penjahit, sudah memiliki desainer sendiri di dalamnya.

“Kita setiap hari diskusi, misal minggu ini mau launching motif gimana, modelnya kaya gimana. Kan modelnya ada yang pakai renda, ada yang pakai laser cut, kadang-kadang kan senada, tapi ada juga yang roknya polos atasan motif,” jelas Arin.

Untuk sementara ini, konsumen lebih cenderung menggemari produk yang bisa lebih ringkas masuk ke dalam tas mukena yang mungil dan mudah dibawa kemana-mana. Motif atau model sudah bukan jadi pertimbangan utama. Lalu, soal variasi produk, Reeca menjual berbagai mukena berdasarkan jenis bahan yang dibanderol mulai dari harga paling ekonomis yakni sekitar Rp50.000 hingga harga tertinggi di kisaran Rp175.000.

Reeca pun menjamin produk mukena dengan bahan premium entah untuk produk paling ekonomi sampai paling tinggi. Bahan pembentuknya yakni rayon, katun, polimikro, hingga armani silk yang mendominasi sekitar 60% variasi produk.

Pada momen-momen tertentu seperti Ramadan dan Idulftiri, Reeca kerap menerima permintaan packaging hampers yang membutuhkan kemasan khusus, dengan kisaran harga Rp250.000.

Motor Ekonomi Tasikmalaya
Memiliki basis usaha mukena dengan kantor utama yang berlokasi di pusat Kota Tasikmalaya dengan pabrik terpisah di wilayah Kabupaten, disebut Arin sebagai salah satu hal lumrah. Dia menginfokan, salah satu penggerak ekonomi terbesar di Kota Santri tersebut berasal dari konveksi pakaian muslim, termasuk di antaranya mukena.

Menurutnya, hal tersebut juga berkaitan dengan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar yang memilih atau dihadapkan dengan kenyataan tidak dapat melanjutkan sekolah, sehingga bekerja sebagai tenaga jahit menjadi salah satu pilihan agar membuat mereka tetap memiliki penghasilan.

Lebih detail, Arin menyampaikan tenaga jahit di Tasikmalaya umumnya bekerja melalui jasa maklon dengan sistem pembayaran setiap satu minggu sekali. Di saat bersamaan, Arin membeberkan terdapat sistem pembayaran berbeda yang terbilang ‘unik’ saat berhadapan dengan para penjahit.

Menurutnya, para penjahit enggan menerima gaji dengan sistem yang dibuat berupa pembayaran mingguan atau bulanan. Alih-alih menerima gaji, pekerja lebih sering mengajukan kasbon untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.

“Misalnya, satu penjahit produksi seribu pieces mukena (per bulan), mereka bilang, ‘mau diambil dong Rp1 juta dulu, atau setiap seminggu ngambil Rp500 ribu dulu, dan itu pasti,” terang Arin.

Nantinya, kasbon tersebut akan diakulumasi dan dikurangi dengan total nominal bayaran mereka dalam kurun waktu satu tahun. Untuk sisa bayaran yang ada, biasanya baru pekerja akan ambil saat akhir Ramadan atau menjelang Idulfitri.

“Jadi kita punya rekapan per bulan, misal mereka kerja setahun, lalu per bulan mereka kasbon 5 juta. Nah mereka bayaran satu tahunnya Rp100 juta, misalnya. Ya sudah kasbon mereka Rp5 juta dikali 12 (bulan) kan Rp60 juta, berarti sisa (bayaran) Rp40 juta lagi,” urai Arin.

Menurut Arin, kebiasaan tersebut banyak dipilih oleh para tenaga penjahit lantaran rasa khawatir akan kehabisan uang, sehingga mereka lebih memilih untuk mengambil uang bayaran sesuai dengan kebutuhan harian. Sementara itu bicara mengenai omzet, dengan memperhitungkan kuantitas produksi dan harga per potong mukena, Arin blak-blakan mengungkap Reeca dapat mencatat pemasukan di kisaran Rp900 juta hingga Rp1 miliar per bulan saat bulan-bulan biasa.

“Tapi, kalau lagi Ramadan sih, bisa 4-5 kali lipat,” ungkapnya.

Rambah Pasar Ekspor
Mengenai diversifikasi produk, masih berhubungan dengan perekonomian di Tasikmalaya yang identik dengan konveksi pakaian muslim, Arin mengatakan jika saat ini dirinya juga sedang merintis turunan produk baru dengan merek yang berbeda, yakni Hijab by Reeca yang khusus memproduksi jilbab dan kerudung, serta pakaian daster.

“Kalau untuk kedua itu saya fokus di online aja, enggak sampai kita distribusi ke Tanah Abang,” ungkapnya.

Terkait peluang ekspor, Arin juga mengungkap jika saat ini sedang merancang strategi dan membidik pasar di negara tetangga, yakni Malaysia sebagai negara satu rumpun. Malaysia dipilih karena memiliki karakteristik sama berupa mayoritas penduduk muslim.

Namun, dirinya menggarisbawahi, akan ada perbedaan dari segi harga mukena yang sudah dipastikan menjadi lebih mahal lantaran adanya biaya administrasi dan lainnya.

“Tahun ini InsyaAllah mau open ekspor (mukena) ke Malaysia,” ujar Arin.