Wapres LIRA Bidang Polhukam Kritisi Perubahan RUU KUHP Terkait Pidana Mati
Jakarta, Beberapa materi yang diperdebatkan kelompok masyarakat sipil dan parta politik terhadap RKUHP diklaim telah menemukan formula titik temu. Hal itu disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej pasca mengikuti ratas di kantor presiden, Jakarta, Senin (28/11).
Sejumlah poin dalam DIM (daftar inventerisasi masalah) telah melalui proses diskusi antara pemerintah dan DPR, serta telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama untuk dimasukkan dalam RKUHP. Sejumlah poin yang telah dibahas dan mengalami perubahan yaitu mulai dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, pidana mati, hingga pencemaran nama baik.
Mencermati setiap point dari RKUHP yang telah disampaikan pemerintah, Wakil Presiden LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) Bidang Pilitik dan Hukum, Hadi Purwanto, SH.,MH., sependapat dengan langkah Wamenkumham yang telah memetakan DIM untuk menjadi pembahasan bersama Presiden, sebagai bentuk mendengarnya pemerintah akan suara dan aspirasi masyarakat.
Mengenai beberapa ketetapan perubahan legitimasi RKUHP, Hadi menilai masih perlu adanya koreksi yang mendalam terhadap putusan (ancaman) hukuman pidana mati yang tidak dapat diputuskan oleh hakim atas pertimbangan kemajuan HAM (Hak Asasi Manusia).
“Menurut saya, ketentuan putusan hukuman mati yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam persidangan atas sebuah adanya perbuatan melawan hukum seperti pembunuhan berencana yang menghilangkan nyawa manusia hingga beberapa nyawa manusia dengan sengaja, serta pengedar narkoba tidaklah harus dengan mekanisme pertimbangan. Jelas PMH tersebut telah melanggar HAM berat yang sudah tidak ada harus ada lagi pertimbangan bersyarat yang dapat mengurangi konsekuensi hukum atas perbuatannya,” ujar Hadi kepada media ini, Rabu (30/11) di Jakarta.
Disebut oleh Hadi, beberapa klasifikasi tindak perbuatan melawan hukum, seperti, pidana terorisme, merong-rong negara yang terindakasi kudeta, hingga tindak perbuatan korupsi yang memberi dampak buruk terhadap ekonomi negara sudah harus mendapat konsekuensi hukum dengan pidana mati, tanpa bersyarat.
Dikatakan oleh Hadi, substansi perubahan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah dipetakan dalam DIM harus lebih mengutamakan kepentingan HAM dari setiap korban, dan bukan dari setiap oknum pelaku PMH itu sendiri.
“Dengan adanya putusan dihapusnya hukuman mati dengan pertimbangan Jika dalam jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati itu diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun, jelas itu menurut saya justeru melukai hati rakyat. Dan apakah kajian dari penghapusan hukuman mati oleh pemerintah, dapat menghadirkan efek jera terhadap para pelaku kejahatan (PMH)? justeru hal itu membuat setiap para tersangka PMH dapat menyepelekan konsekuensi hukuman atas apa yang telah dibuat,” tegasnya.
“Menurut hemat saya dan pandangan hukum yang saya ketahui, pemerintah harus mengkaji ulang atas perubahan KUHP pidana mati. Demi keadilan hukum, tegaknya HAM, dan memastikan efek jera kepada para oknum yang hendak melakukan perbuatan melanggar hukum yang sama,” imbuhnya.
Wapres LIRA Bidang Polhukam itu disisi lain mengapresiasi atas adanya penghapusan pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sependapat dengan Wamenkumham, Hadi senada mengatakan, hal itu dapat meminimalisir disparitas putusan.
“Penghapusan pasal-pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada di dalam UU ITE menurut saya merupakan kabar baik bagi seluruh rakyat Indonesia ya. Dengan tanpa mengurangi norma dan kaidah yang ada dalam mengutarakan dan menyampaikan pendapat baik dalam ruang formal maupun sosial media, putusan tersebut menjadi sesuatu yang begitu positif bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi,” ungkapnya.
Tentu hal itu, sambungnya, dapat menjadi pelecut bagi setiap Insan Pers untuk lebih menghadirkan karya jurnalistik yang lebih menunjukkan kearah kritik konstruktif sebagai sosial control, demi terciptanya check and balancing jalannya roda pemerintah.
“Selama para Insan Pers (media) menghadirkan karya jurnalistik berupa tulisan dengan menjalankan kaidah etika dan UU yang telah diatur pada UU NO 40 Tahun 1999 mengenai PERS, saya kira dihapus nya UU ITE dapat lebih menghadirkan pemberitaan kritis yang bersifat konstruktif. Hal itu juga menurut hemat saya menjadi bukti keseriusan pemerintah menangkis adanya instrumen tudingan menghambat kebebasan dan kemerdekaan pers pada iklim demokrasi bangsa,” tutup Hadi.