Polarisasi Politik di Indonesia: Mitos atau Fakta?
Jakarta, Untuk menguji apakah polarisasi politik terjadi di Indonesia, lab Psikologi Politik melakukan dua studi. Studi pertama, analisis data sosial media di On-line, yaitu analisis terhadap 43 juta tweet sebelum, selama dan sesudah Pilpress 2019. Studi kedua berupa Survey Opini Publik yang dilakukan dari rentang waktu 6 Feb – 28 Februari 2023. Studi ini bertujuan untuk melihat apakah sisa-sisa (residu) polarisasi yang tadinya terindentifikasi di dunia On-line selama pilpres 2019 masih terkonfirmasi dalam bentuk Sikap, Perasaan dan Opini di konteks Off-line 3 tahun setelah pilpress usai. Dua studi ini adalah dalam rangka memenuhi syarat publikasi untuk Hibah Riset Unggulan di Universitas Indonesia. Yang dalam waktu dekat akan dikirim ke Jurnal Ilmiah.
Analisis terhadap Bigdata Tweeter: 6 bulan sebelum, selama, 3 bulan setelah Pilpres 2019 yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia bertujuan untk mengindentifikasi apakah terjadi Polarisasi (pengkutuban) politik selama Pilpress 2019. Analisis dengan menggunakan metode Social Network Analysis (SNA) terhadap 43 Juta akun twitter dengan tagar #pilpress2019,#2019gantipresiden, #2019tetapjokowi menemukan pola polarisasi antar dua kutub politik (index modularity-0,34). Analisis lebih jauh dengan metode topic modelling untuk melihat pola percakapan berdasarkan issu dan aktor politik (user acount) yang difollow, menunjukkan keterbelahan diantara para follower berdasarkan dimensi Ideologi Keagamaan (dari kutub: Sekular sampai ke kutub Fundamentalis). Sementara untuk dua dimensi lain dari Skala Ideologi politik yang dikembangkan di Lab Psikologi politik, yaitu: dimensi sosial (liberal vs.konservatif), dan ekonomi (sosialis vs. kapitalis) tidak ditemukan pengkutuban. Implikasi dari temuan ini adalah: polarisasi dengan kerangka (framing) narasi keagamaan punya implikasi sosial yang kalau tidak ditangani dengan baik bisa menjadi kontraproduktif dalam konteks kebangsaan ke masa depan.
Selanjutnya, survei nasional persepsi publik atas isu-isu sosial politik nasional tahun 2023 yang dimulai pada Februari 2023. Pada survei ini, menggunakan beragam teknik analisis statistik seperti item-response theory (IRT), principal component (PCA), dan latent classification analysis (clustering) dengan metode mengukur Sigma Distance. Total responden sebesar 1190 yang berasal dari 33 provinsi. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat terpolarisasi menjadi 2 kelompok dengan ukuran proporsional (57% vs 43%). Cluster I memiliki posisi relatif pada ujung spektrum kiri (kelompok pro Jokowi yang relatif Sekuler kearah Moderat, puas terhadap kinerja pemerintah, relatif tidak Berprasangka terhadap kekuatan ekonomi asing dan “aseng). Sementara Cluster 2 memiliki positif relatif pada ujung spektrum kanan dalam ideologi politik dimensi keagamaan (“syariahism”, fundamentalism, dimana item-item seperti: pemimpin harus seiman/seagama, kebijakan publik berlandaskan agama, sanksi punitif terhadap penista agama, perda syariah mendapat endorsement yang tinggi). Klaster dua ini juga lebih percaya pada teori konspiratif bahwa pemerintah adalah konspirasi dari kekuatan “asing” dan “aseng”. Kluster ini menyatakan ketidakpuasan terhadap kebijakan dan hasil yang dicapai pemerintah. Penelitian juga menemukan ada indikasi implikasi dari pengkutuban ini pada konsekuensi Afeksi (perasaan). Dimana terlihat kedua cluster ini cenderung mengembangkan emosi negatif (takut, terancam, tidak suka, tidak hormat) kepada kelompok diluar kelompok yang tidak “sealiran” (dalam konteks dukungan selama pilpres 2019). Namun dilain pihak studi tidak menemukan implikasi negatif dari pengkutuban ini dalam perilaku sosial yang berkekerasan, dan atau perilaku segregasi sosial yang yang lebih serius. Implikasi lebih kearah sentimen negatif (afeksi). Namun tentu kehati-hatian tetap diperlukan supaya implikasi tidak berkembang kearah yang lebih serius.