Perekonomian Nelayan Lampung Meningkat Pasca Tinggalkan Trawl
LAMPUNG, Nelayan Pesisir Timur Lampung mengalami kenaikan pendapatan pasca beralih alat tangkap dari trawl ke bubu. Selain membuat lingkungan laut lebih lestari, alat tangkap yang direkomendasikan KKP tersebut secara perlahan berhasil memperbaiki perekonomian nelayan setempat.
Andi Asnawi nelayan KUB Maju Jaya Bahari, Lampung mengaku selain tidak merusak lingkungan, menggunakan bubu lebih hemat bahan bakar, dan hasil tangkapan juga memiliki harga lebih tinggi dibandingkan menggunakan trawl.
“Saya merasakan manfaat bubu dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu biaya operasional juga dapat lebih ditekan,” ujar Asnawi.
Menurutnya, operasional menggunakan bubu membutuhkan 100 liter bahan bakar yang dapat digunakan 5 hari. Sementara saat menggunakan trawl hanya cukup untuk 1 hari. Perbedaan ini cukup signifikan bagi Asnawi yang saat ini memiliki 10 unit kapal.
“Hasil tangkapkan rajungan menggunakan alat tangkap bubu lebih baik dan meningkat dibandingkan menggunakan trawl. Selain itu rajungan banyak yang tidak utuh karena rusak terjerat jaring apabila menggunakan trawl,” ungkapnya.
Asnawi saat ini juga menjadi pembina nelayan di wilayahnya, Desa Kuala Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Dari sekitar 300 kapal di daerahnya, 100 unit telah beralih ke bubu.
“Secara bertahap pembinaan akan terus dilakukan bersama pemerintah pusat dan daerah. Kami terus mendorong agar nelayan Lampung dapat menerapkan praktik penangkapan berkelanjutan demi menjaga keberlangsungan sumber daya rajungan dan perekonomian lokal,” tandasya.
Bubu merupakan alat penangkapan ikan berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kawat atau kayu/bambu. Dirancang sedemikian rupa agar ikan dapat masuk namun sulit untuk keluar.
Nelayan memasang menempatkan bubu pada kedalaman 10-20 meter menggunakan batu sebagai pemberat dan menariknya ke permukaan setelah 3-12 jam. Cara pengoperasiannya tergolong ramah lingkungan dan tidak mengganggu keberlangsungan ekosistem laut.
Komitmen Asnawi untuk beralih alat penangkapan ikan ini dilakukannya sejak 2019 setelah bergabung pada Komite Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan (KPPRB). Komite ini terdiri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah daerah, perwakilan nelayan, perwakilan aktor rantai pasok, universitas, Non Government Organization (NGO) termasuk Environmental Defense Fund (EDF) dan Mitra Bentala.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Ridwan Mulyana menjelaskan KPPRB berfokus pada keberlanjutan sumber daya ikan dengan pelarangan alat penangkapan ikan yang merusak. Selain itu juga mendukung peningkatan kapasitas masyarakat setempat melalui berbagai jenis pelatihan untuk nelayan.
“Program KPPRB yang merupakan kerja sama antara KKP dengan EDF ini telah menjangkau lebih dari 170 nelayan di lima desa di Lampung yang berfokus pada pengelolaan perikanan rajungan berkelanjutan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono terus mengajak berbagai pihak untuk memegang teguh prinsip keberlanjutan dalam mengelola sumber daya alam kelautan dan perikanan. Pengelolaan secara berkelanjutan sejalan dengan kebijakan penangkapan terukur yang akan diterapkan KKP di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).