Pemerintah Selidiki Dugaan Walikota Cilegon Ikut Aksi Tolak Pendirian Gereja
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelidiki laporan mengenai pejabat Kota Cilegon, Provinsi Banten, yang ikut aksi menentang pembangunan gereja di wilayah mereka, ungkap seorang pejabat pada Jumat (9/9).
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia di kementerian, Mualimin Abdi, mengatakan pihaknya telah memerintahkan pejabat Kantor Wilayah Banten untuk mengecek langsung ke lokasi persengketaan guna mencari informasi detail mengenai insiden tersebut.
Kasus tersebut dipicu oleh beredarnya sebuah video di media sosial yang mengindikasikan Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan wakilnya Saniji Pentamarta ikut menandatangani penolakan pendirian gereja dalam sebuah aksi oleh masyarakat setempat pada Rabu.
“Apa sih yang sebetulnya terjadi. Setelah itu saya meminta ke Kanwil Kumham (Hukum dan Hak Asasi Manusia) di Banten melakukan upaya-upaya,” kata Mualimin kepada BenarNews.
Pada Rabu, kedua pemimpin kota tersebut, bersamaan dengan organisasi massa yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon, menandatangani petisi penolakan pendirian gereja di depan gedung Walikota Cilegon, Banten, yang direkam dalam video dan beredar luas melalui media sosial, lansir TV One.
Kepada media, Helldy mengatakan dia turut mendandatangani spanduk karena permintaan masyarakat.
“Hal tersebut adalah memenuhi keinginan masyarakat Kota Cilegon yang terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan organisasi masyarakat,” kata Helldy seperti dikutip CNN Indonesia.
BenarNews berulang kali menghubungi Wakil Walikota Cilegon Wali Kota Cilegon Saniji Pentamarta untuk menanyakan tindak lanjut dari permasalahan ini namun tidak mendapatkan respons.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengecam keras aksi penolakan perijinan pembangunan gereja yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Kota Cilegon itu.
Di kota Cilegon tidak ada gereja, sehingga umat Kriatiani yang ingin melakukan ibadah harus pergi ke Serang yang jaraknya sekita 20 km dengan waktu tempuh sekitar 45 menit berkendaraan.
“Peristiwa ini membuktikan bahwa politisasi identitas semakin mengkhawatirkan dan mengancam jalinan keragaman yang wajib kita syukuri sebagai anugerah Tuhan bagi bangsa ini,” kata PGI melalui keterangan tertulis.
PGI menyatakan peristiwa tersebut telah mencederai amanat konstitusi Indonesia yang memberikan jaminan kesetaraan bagi setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah secara bebas, menurut agama dan keyakinan yang dianutnya.
Kepala Humas PGI Jeirry Sumampow mendesak pemerintah untuk hadir menyelesaikan masalah ini, sambal meminta umat Kristiani tetap “mengedepankan nilai-nilai kasih.”
“Kita tak boleh lelah mengupayakan dialog dan kerja sama sebagai cara bermartabat untuk mengelola perbedaan dan mengembangkan kerukunan di bangsa ini.”
“Menggangap kelompok lain musuh”
Anggota Tim Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kementerian Agama, Alissa Wahid, mengatakan adanya kecenderungan di antara kelompok-kelompok Islam tertentu yang menganggap kehadiran kelompok lain sebagai ancaman.
Putri dari Abdurrahman “Gus Dur” Wahid itu mengkritik pemimpin daerah yang tunduk pada kelompok yang menganggap kehadiran kelompok lain sebagai ancaman dengan alasan “demi kerukunan umat dan harmoni sosial”.
“Beragama secara eksklusif, yang melihat kehadiran kelompok lain sebagai musuh dan pengganggu,” kata Alissa kepada BenarNews.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Wawan Djunaedi mengharap semua kepala daerah, termasuk Wali Kota Cilegon Helldy Agustian berupaya semaksimal mungkin memenuhi hak-hak konstitusi setiap penduduk, termasuk hak beragama dan berkeyakinan.
Menurut Wawan, terkait pendirian rumah ibadah, sikap Kepala Daerah seharusnya merujuk pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006.
PBM tersebut mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung,” kata Wawan dalam laman Kementerian Agama.
Selain itu, kata Wawan, ada juga persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah.
Pertama, daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat. Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa, kata Wawan.
“Jika persyaratan pertama terpenuhi sedangkan persyaratan kedua belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah,” ungkap Wawan.
Kemudian syarat ketiga, kata Wawan, mendapatkan rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten dan kota, dan yang keempat, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten atau kota, kata dia.
“Jadi, tidak ada alasan apa pun bagi kepala daerah untuk tidak memfasilitasi ketersediaan rumah ibadat ketika calon pengguna telah mencapai 90 orang,” tegas Wawan di Jakarta, Kamis (8/9).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat dalam 15 tahun terakhir terdapat sekitar 600 pengaduan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk di dalamnya kasus pendirian rumah ibadah, tersebar di seluruh Indonesia yang korbannya bukan hanya non-Muslim tapi juga Muslim, walaupun sebagian besar korban adalah kelompok agama/kepercayaan minoritas.
Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah sengketa terkait Gereja GKI Yasmin disegel oleh pemerintah kota Bogor tahun 2008 karena penolakan penduduk sekitar yang mayoritas Muslim.
Dalam wawancara dengan BenarNews tahun lalu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan semua warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum, apapun agama atau kepercayaannya.
Terkait seruan sekelompok aktivis hak asasi untuk meninjau ulang atau bahkan meniadakan Peraturan Bersama Menteri karena dinilai menjadi sumber pemicu kelompok mayoritas untuk main hakim sendiri, Yaqut mengatakan peraturan tentang pembangunan rumah ibadah masih dibutuhkan.
“Jika PBM ini akan direvisi, maka itu dalam kerangka penyempurnaan, bukan peniadaan,” ujar Yaqut.(Sumber Benar News. org)