10 October 2024
Nasional

Ketua MPR Tegaskan Pelantikan Prabowo-Gibran Jadi Presiden-Wapres RI Tak Bisa Dijegal

Fajar Metro – Ketua Majelis Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Bambang Soesatyo menegaskan bahwa pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sangat sulit untuk dijegal.

Hal ini mengingat aturan di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang memuat soal aturan pelantikan presiden dan wapres RI sudah sangat jelas. Menurut Ketua MPR, yang telah diputus oleh rakyat yang berdaulat tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Bahkan menurut hasil kajian Badan Pengkajian MPR RI dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus diperkuat dengan produk hukum konstitusi berupa Ketetapan (TAP) MPR RI.

“Jadi tidak ada celah untuk menunda atau membatalkan pelantikan Prabowo-Gibran karena Pemilu sudah selesai, keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) dan ketetapan KPU atas hasil Pilpres sudah jelas,” kata politikus yang akrab disapa Bamsoet itu, seperti dikutip dari Antara, Jumat (10/5/2024).

Pernyataan Bamsoet ini merespons mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun yang menyebut putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bisa dijadikan pertimbangan oleh MPR RI untuk tidak melantik Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden RI.

Hasil kajian Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR tersebut sejalan dengan pandangan dan pendapat ahli hukum tata negara Yusril Izha Mahendra dan Jimly Asshiddiqie, bahwa MPR perlu mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPR tentang pengukuhan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

“Ketetapan MPR tentang penetapan presiden dan wakil presiden merupakan conditio sine qua non (harus ada) dalam rangkaian pelantikan presiden dan wakil presiden,” kata Bamsoet.

Namun, Bamsoet menilai setelah amandemen UUD 1945, terdapat hal-hal yang belum sesuai dengan UUD 1945 dalam hal tata cara pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Sehingga, menurut dia, tidak ada produk hukum MPR yang menetapkan presiden dan wakil presiden terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Selama ini, menurut dia, penetapan itu hanya dalam bentuk Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilu, serta pengucapan sumpah atau janji yang dituangkan dalam bentuk berita acara pengucapan sumpah atau janji dengan alasan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat.

“KPU hanya sebatas memiliki kewenangan dalam menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilu. Bukan menetapkan dan mengukuhkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia,” katanya.

Untuk itu, menurut dia, MPR tidak sekedar melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilu yang ditetapkan KPU, tetapi sebelum pelantikan harus diawali dengan tindakan hukum penetapan dan pengukuhan presiden dan wakil presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun melalui TAP MPR tanpa proses pengambilan keputusan lagi karena hanya bersifat administratif.

“Presiden dan wakil presiden terpilih yang dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan ketetapan KPU tidak bisa dibatalkan oleh MPR. MPR hanya berwenang memperkuatnya dalam bentuk pengukuhan berupa produk hukum konstitusi,” katanya.

Sebelumnya diberitakan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memulai sidang perdana gugatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) KPU ke PTUN hari ini, Kamis (2/5/2024). Sidang yang berjalan tertutup pagi ini tercatat dengan nomor register 133/G/2024/PTUN.JKT.

Ketua Tim Hukum PDIP Gayus Lumbuun mengatakan, jika gugatan PDIP dikabulkan maka KPU valid dinyatakan telah melanggar hukum soal proses pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden.

Dia pun berharap, validasi tersebut bisa membuat MPR RI tidak jadi melantik Prabowo-Gibran sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih.

“Esensi putusan itu yang kita harapkan. Maka rakyat yang diwakili Senayan di legislatif yaitu MPR wadahnya seluruh rakyat, maka mempunyai keabsahan berpendapat akan memikirkan apakah sebuah produk yang diawali melanggar hukum itu bisa dilaksanakan? kami berpendapat mungkin MPR tidak mau melantik ini (Prabowo-Gibran),” kata Gayus di Gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta Timur, Kamis (2/5/2024).

Dikonfirmasi terpisah, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat sempat mengatakan upaya partainya ke PTUN bertujuan untuk menunjukkan proses penyimpangan secara substansial dalam proses Pilpres 2024 sudah terjadi sejak putusan MK 90.

Tidak hanya itu, menurut Djarot, pelanggaran juga terjadi soal etik kepada KPU ketika menerima pendaftaran 02, sampai dengan pengerahan aparat di dalam memenangkan paslon tertentu.

“Putusan MK 90 adalah ketika hakim konstitusi membacakan putusan Nomor 90/PUU/XXI/2023. Putusan tersebut berakibat warga negara Indonesia, termasuk Gibran Rakabuming Raka yang berusia di bawah 40 tahun, dapat mendaftar sebagai calon presiden/wakil presiden,” ujar Djarot.

Djarot menyampaikan, PDIP ingin mencari keadilan termasuk menyelamatkan demokrasi. Putusan ini, lanjut Djarot, diharapkan bisa menemukan kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan pemilu.

“Yang kita lihat berbagai penyimpangan-penyimpangan itu, tidak lagi terjadi pada pemilu yang akan datang. Terutama yang paling dekat itu Pilkada 2024,” jelas Djarot.

“Ini sebagai bagian koreksi kita. Jadi, itu konteksnya,” tandas dia.

Sumber: liputan