Ketum KADIN DK Jakarta Hj. Diana Dewi Ingatkan, Tragedi Tupperware Contoh bagi Pelaku Usaha Indonesia
Ketum KADIN DK Jakarta Hajjah Diana Dewi Ingatkan, Tragedi Tupperware Contoh bagi Pelaku Usaha Indonesia
Fajar Metro – Siapa yang tidak kenal dengan Tupperware? Produk yang sudah menjadi bagian dari keseharian banyak keluarga ini kini mengajukan surat permohonan pailit.
CEO Tupperware mengungkapkan bahwa tantangan ekonomi global,
kenaikan biaya bahan baku, serta penurunan penjualan karena tidak mampu mendekati konsumen muda menjadi beberapa faktor utama yang menyebabkan kondisi ini.
Kisah ini memberikan pembelajaran penting bagi para pengusaha: di era yang serba cepat dan penuh tantangan, inovasi dan adaptasi adalah kunci untuk tetap relevan dan mampu bertahan.
Beberapa penyebab Kebangkrutan Tupperware dikutip dari umj.ac.id, pimpinan perusahaan mengakui penjualannya semakin merosot sejak 2020, terutama selama pandemi COVID-19, yang menyebabkan pendapatan terus menurun.
Pada Juni tahun ini, perusahaan terpaksa menutup satu-satunya pabrik di Amerika Serikat dan merumahkan hampir 150 karyawan.
Laurie Ann Goldman, CEO Tupperware menyatakan pengajuan kebangkrutan. Perusahaan memiliki aset antara USD 500 juta hingga USD 1 miliar. Sementara kewajibannya berkisar antara USD 1 miliar hingga USD 10 miliar, setara dengan Rp 153 triliun.
“Pengajuan kebangkrutan ini bertujuan agar kami dapat lebih fleksibel dalam mendukung transformasi perusahaan, khususnya dalam hal digitalisasi,” ujarnya dalam pernyataan resmi.
Tupperware hadir pada tahun 1946 oleh pendirinya, Earl Tupper, dengan produk plastik yang inovatif, termasuk segel kedap udara yang fleksibel, yang kemudian menjadi populer di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Dokumenter Kahn menjelaskan asal Tupperware yang ada pada tahun 1940-an ketika Earl Silas Tupper menciptakan wadah kedap udara dari pelet plastik.
Keberhasilan pemasaran sangat berpengaruh bagi Brownie Wise yang meluncurkan konsep “pesta Tupperware” yang memberdayakan banyak wanita untuk menjual produk tersebut.
Setelah Tupper meninggal pada tahun 1983, hak paten atas wadahnya berakhir dan banyak perusahaan mulai meniru produknya. Hal ini menyebabkan banyak peniru dan produk pesaing muncul.
“Mari kita jadikan kisah Tupperware sebagai motivasi untuk terus berinovasi, beradaptasi dengan perubahan, dan memahami kebutuhan pasar yang terus berkembang. Jangan biarkan bisnis kita terjebak dalam zona nyaman—teruslah bergerak maju!” Demikian Diana Dewi.
(yp)